Wednesday, April 13, 2011

Akuntansi Klasik Al Mazindarani



Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al Mazindarani, ulama’ muslim yang telah menuliskan karya di bidang akuntansi dengan judul “Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat” ditulis pada 765 H./1363 M. Al Mazindarani menjelaskan dalam manuskripnya tentang pelaksanaan pembukuan yang populer pada saat itu dan kewajiban-kewajiban yang harus diikuti. Di antaranya adalah sebagai berikut:


Metode Pencatatan (Pembukuan)
Dalam pelaksanaan pembukuan yang disebutkan oleh Al-Mazindarani adalah sebagai berikut:” Ketika menyiapkan laporan atau mencatat di buku-buku akuntansi harus dimulai dengan basmalah,  “Bismillahir Rahmanir  Rahim”. Jika hal ini yang dicatat oleh Al Mazindarani pada tahun 765 H./1363 M, maka hal ini pula yang disebut oleh penulis Itali, Pacioli 131 tahun kemudian. Pacioli berkata, “harus dimulai dengan ungkapan “Bismillah’.”
Salah seorang penulis muslim juga menambahkan pelaksanaan pembukuan yang pernah digunakan di negara Islam, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.     Apabila di dalam buku masih ada yang kosong, karena sebab apa pun, maka harus diberi garis pembatas, sehingga tempat yang kosong itu tidak dapat digunakan. Penggarisan ini dikenal dengan nama Tarqin.
2.     Harus mengeluarkan saldo secara teratur. Saldo dikenal dengan nama Hashil.
3.     Harus mencatat transaksi secara berurutan sesuai dengan terjadinya.
4.     Pencatatan transaksi harus menggunakan ungkapan yang benar, dan hati-hati dalam menggunakan kata-kata.
5.     Tidak boleh mengoreksi transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau menghapusnya. Apabila seorang akuntan (bendaharawan) kelebihan mencatat jumlah suatu transaksi, maka dia harus membayar selisih tersebut dari kantongnya pribadi kepada kantor. Demikian pula seorang akuntan lupa mencatat transaksi pengeluaran, maka dia harus membayar jumlah kekurangan di kas, sampai dia dapat melacak terjadinya transaksi tersebut. Pada negara Islam, pernah terjadi seorang akuntan lupa mencatat transaksi pengeluaran sebesar 1300 dinar, sehingga dia terpaksa harus membayar jumlah tersebut. Pada akhir tahun buku, kekurangan tersebut dapat diketahui, yaitu ketika membandingkan antara saldo buku bandingan dengan saldo buku-buku yang lain, dan saldo-saldo bandingannya yang ada di kantor.
6.     Pada akhir tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci tentang jumlah (keuangan) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara pengaturannya terhadap jumlah (keuangan) tersebut.
7.     Harus mengoreksi laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan membandingkannya dengan laporan tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan jumlah yang tercatat di kantor.
8.     Harus mengelompokkan transaksi-transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan karakternya dalam kelompok-kelompok yang sejenis, seperti mengelompokkan dan mencatat pajak-pajak yang memiliki satu karakter dan sejenis dalam satu kelompok.
9.     Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber-sumber pemasukan-pemasukan tersebut.
10.  Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran-pengeluaran tersebut.
11.  Ketika menutup saldo, harus meletakkan suatu tanda khusus baginya.
12.  Setelah mencatat seluruh transaksi keuangan, maka harus memindahkan transaksi-transaksi sejenis ke dalam buku khusus yang disediakan untuk transaksi-transaksi yang sejenis itu saja.
13.  Harus memindahkan transaksi-transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang berdiri sendiri, tidak terikat dengan orang yang melakukan pencatatan  di buku harian dan buku-buku yang lain.
14.  Setelah mencatat dan memindahkan transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku, maka harus menyiapkan laporan berkala, bulanan atau tahunan sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan laporan itu harus rinci, menjelaskan pemasukan dan sumber-sumbernya serta pengalokasiannya.

Kalau kita perhatikan pelaksanaan pembukuan tersebut, seluruhnya atau secara umum serupa dengan apa yang digunakan sekarang, terutama poin 9 dan 10. Sebelumnya telah disinggung, salah seorang penulis menyatakan bahwa orang-orang terdahulu mencatat pemasukan dan pengeluaran pada dua halaman yang berhadap-hadapan, dengan sistem debet dan kredit. Sesungguhnya pelaksanaan pembukuan yang telah disebutkan di sini secara umum, khususnya poin 9 dan 10, menggambarkan bentuk tertentu yang memberikan andil dengan suatu sistem atau dengan yang lain dalam pengembangan sistem pencatatan sisi-sisi debet di sebelah kiri dan sisi-sisi kredit di sebelah kanan, baik dalam satu halaman maupun dua halaman yang berhadap-hadapan.

Laporan Keuangan
Di samping apa yang telah disebutkan di atas, perkembangan akuntansi mencakup penyiapan laporan keuangan, karena negara Islam telah mengenal laporan keuangan tingkat tinggi. Laporan keuangan ini pernah dibuat berdasarkan fakta buku-buku akuntansi yang digunakan. Di antara laporan keuangan yang terkenal di negara Islam adalah Al-Khitamah dan Al Khitamatul Jami’ah. Al Khitamah adalah laporan keuangan bulanan yang dibuat pada setiap akhir bulan. Laporan ini memuat pemasukan dan pengeluaran yang sudah dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, di samping memuat saldo bulanan. Sedangkan Al-Khitamatul Jami’ah adalah laporan keuangan yang dibuat oleh seorang akuntan untuk diberikan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya. Apabila Al-Khitamatul Jami’ah disetujui oleh orang yang menerima laporan tersebut, maka laporan itu dinamakan Al Muwafaqah. Dan apabila Al Khitamatul Jami’ah tidak disetujui karena adanya perbedaan pada data-data yang dimuat oleh Al Khitamatul Jami’ah, maka ia dinamakan Muhasabah (akuntansi) saja. Sesungguhnya hal itu serupa dengan apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Qoimatu Mashadir Wastikhdamatil Amwal (Daftar Sumber dan Penggunann Keuangan). Hal ini menunjukan bahwa Al Khitamah adalah sumber rujukan bagi daftar yang digunakan sekarang ini, dan telah ada serta digunakan sejak berabad-abad yang silam.
Sesungguhnya pembuatan laporan keuangan di negara Islam harus bersandar pada dokumen-dokumen  yang mempertegas keberadaan dan kebenaran data-data yang dijadikan dasar untuk membuat laporan. Negara Islam telah mengenal penting pemenuhan dokumen-dokumen  yang memadai untuk setiap transaksi.

Bukti-bukti Transaksi
Sistem dokumentasi  termasuk tuntunan syar’i yang asasi sesuai dengan Al-Qur’anul Karim yang merupakan sumber asasi dan utama dalam syariat Islam. Sebaik-baik mengenai hal itu adalah firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
“   . . . .  .dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya . . . . . . dan persaksikanlah apa bila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan .. . . . . “ (Al Baqarah : 282)
Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan suatu keharusan memenuhi dokumen-dokumen  secara sempurna sebelum mencatat transaksi keuangan apa pun di dalam buku. Hal ini diperkuat oleh apa yang ditemukan di dalam perpustakaan Mesir, yaitu adanya bukti tanda terima (receipt) dari zaman negara Islam, yang didalamnya tertera tahun 148 H./756 M. receipt ini telah memenuhi persyaratan yang dituntut pada saat itu, dan sesuai dengan apa yang digunakan pada waktu sekarang. Hal ini merupakan bukti lain tentang kemajuan sistem akuntansi dan sistem dokumentasi   masa negara Islam dalam bentuk yang tiada duanya. Bahkan, pengelolaan bukti transaksi pada masa kita sekarang ini hampir sesuai dengan apa yang digunakan pada masa negara Islam sejak abad I H.
Receipt-receipt yang berlaku pada masa negara Islam harus memenuhi persyaratan, yaitu memuat data-data pokok, yang di antaranya adalah : tanggal pengeluaran, jumlah, tempat pengeluaran, saksi transaksi, nama, tanda tangan dan sebab-sebab pembayaran. Persyaratan tersebut, yang  berlaku pada masa negara Islam sejak abad II H. atau abad VIII M. adalah persyaratan yang berlaku sekarang ini, pada akhir abad XX M. Namun sumber-sumber Barat tidak menyebutkan sumber data-data yang digunakan pada masa sekarang ini, sebagaimana halnya Pacioli tidak menyebutkan sumber tulisannya.
Ketika mengeluarkan receipt, yang digunakan pada masa negara Islam, receipt yang asli diberikan kepada yang membayar jumlah tersebut. Receipt yang asli ini dinamakan  thiraz. Sedangkan  salinan  receipt  tersebut  tidak  dapat  digunakan  sebagai  dasar  pencatatan  di  dalam  buku  akuntansi.  Sebab,  pencatatan  di dalam  buku-buku  akuntansi  bersandar  pada  dokumen-dokumen  lain,  yang  dikenal  dengan  nama  syahid. syahid ini  termasuk dari dokumen-dokumen lain seperti  receipt.  Dengan  demikian  syahid menggambarkan  tentang  journal  voucher. syahid ini dibuat oleh seorang akuntan disetujui oleh pimpinan kantor, atau menteri atau wakilnya. Persetujuan ini termasuk suatu bentuk perizinan untuk menggunakan syahid sebagai asas pencatatan di dalam buku. Persetujuan pimpinan kantor, atau menteri atau wakilnya dengan menulis kata “yuktab (dicatat)”. Dengan adanya persetujuan terhadap syahid itu, seorang akuntan melakukan pencatatan transaksi-transaksi di dalam buku-buku berdasarkan realitas syahid itu. Kemudian, akuntan tersebut menyimpan syahid tersebut dan tetap menjadi tanggung jawabnya sebagai petunjuk untuk transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku akuntansi, melalui pemberian kuasa oleh pimpinan kantor, atau materi atau wakilnya.
Apabila transaksi keuangan telah terjadi di luar ibu kota wilayah Islam, maka pelaksanaan seperti di atas harus diikuti juga dengan mengirimkan salinan syahid, ke ibu kota wilayah Islam. Ketika menerima salinan syahid, maka sulthan, (penguasa) memberikan stempel pada salinan syahid tersebut, atau disimpan sebagai dasar untuk pelaksanaan pembukuan kantor pusat. Hal ini menunjukan bahwa disana terdapat kegandaan dalam pencatatan transaksi keuangan yang terjadi di luar tempat tinggal sulthan, di ibu kota wilayah. Tampaknya istilah yang dikenal dengan Al Qaidul Muzdawaj (Pembukuan Ganda/Double Entry) dalam bahasa-bahasa asing, yang dicetuskan oleh buku Pacioli, boleh jadi bersumber dari hal ini. Ini hanya sekadar kesimpulan dari kami, dan kami tidak memiliki bukti pendukung yang mempertegas penggunaan istilah ini di dalam negara Islam. Di antara dalil-dalil lain yang menunjukkan perkembangan akuntansi di dalam negara Islam adalah adanya tuntutan asasi yang menghendaki pentingnya penyimpanan buku-buku dan dokumen-dokumen  yang berkaitan dengannya secara sistematis, juga tuntutan untuk membuat indeks buku-buku dan dokumen-dokumen  secara sistematis agar mudah dilihat sewaktu diperlukan, setelah selesai pencatatan di buku-buku dan selesai penyempurnaan penyimpanan dokumen-dokumen  di map-map. Di samping itu, membuka buku-buku dan dokumen-dokumen  tersebut, setelah  tutup buku, harus memenuhi persyaratan tertentu yang intinya menghendaki pentingnya persetujuan salah seorang pegawai senior di kantor itu.

Auditing
Di antara perkara lain yang memiliki pengaruh terhadap sistem akuntasi dan mendapatkan perhatian besar di negara Islam adalah Sistem Pengawasan Intern yang merupakan bagian penyempurna bagi sistem akuntansi. Sejak awal, negara Islam telah memiliki sistem pengawasan yang ketat terhadap pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-pengeluaran, karena pemasukan negara Islam tidak saja berasal dari berbagai sumber, tetapi juga memiliki jumlah yang besar sekali. Sistem pengawasan yang diperlukan bagi sistem akuntansi dirancang dengan cara menampakan kekurangan macam apa pun di dalam kas negara secara langsung melalui ketidakseimbangan buku-buku. Di antara yang patut disebutkan adalah salah seorang sahabat yang mulia, yaitu ‘Amir Ibnul Jarrah berkirim surat kepada Amirul Mu’minin Khalifah Umar Ibnul Khaththab, radliyallahu’anhu, menjelaskan adanya kekurangan di Baitul Mal sebesar satu dirham. Hal ini menunjukkan kehebatan sistem yang digunakan pada saat itu, dari satu sisi, dan dari sisi yang lain menunjukkan efektivitasnya. Demikian pula, Al Mazindarani di dalam bukunya pada tahun 765 H./ 1363M., menyebutkan bahwa sistem pengawasan intern memiliki signifikansi, dan digunakan di seluruh kantor . Hal inilah yang menegaskan bahwa Pacioli bukanlah orang pertama yang memberikan perhatian pada sistem pengawasan intern; juga termasuk sesuatu yang menunjukkan adanya hubungan antara manuskrip Al Mazindarani dan buku Pacioli, dari sisi kemungkinan Pacioli bersandar pada apa yang terdapat di dalam manuskrip Al Mazindarani.
Dari apa yang telah ditemukan mungkin dapat dikatakan bahwa perkembangan sistem akuntansi, pelaksanaan pembukuan, penentuan buku-buku akuntansi, sistem dokumentasi, laporan keuangan, dan sistem pengawasan intern di dalam negara Islam telah memberikan andil dalam mewujudkan sistem pencatatan sisi-sisi transaksi (double entry) dan perkembangnya. Namun,  istilah yang kami gunakan ini, yaitu sistem pencatatan sisi-sisi transaksi, atau istilah yang dikenal dengan sistem pembukuan ganda (double entry) tidak digunakan di dalam negara Islam. Tetapi dapat kita simpulkan, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kegandaan pembukuan di setiap ibu kota wilayah dan tempat terjadinya transaksi boleh jadi merupakan penyebab timbulnya penggunaan istilah yang dikenal dengan pembukuan ganda (double entry). Ini dari sisi penggunaan istilah. Adapun  dari sisi praktik, maka sistem pencatatan sisi-sisi transaksi dari segi pelaksanaan pembukuan, bukan dari segi penamaannya, telah dicatat oleh Al Mazindarani di dalam bukunya pada tahun 765 H. /1363 M, namun dalam bentuk yang berbeda dengan apa yang disebutkan oleh buku Pacioli.

Profesi Akuntan Publik
Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan dengan pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan. Fungsi pengoreksian pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa dengan yang kita namakan muraja’atul hisabat ( pengoreksian pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian pembukuan), atau ar riqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun, kami hanya menganggap penamaan yang pertama sebagai ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan ketiga, kami pandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas yang diberikan kepada auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan. Al Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan kebutuhan terhadapnya. Dia berkata, “Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan kesalahan dalam menghitung atau mencatat, sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia itu tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi melihat kesalahan-kesalahan orang lain, maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk mengoreksi pembukuan. Orang yang dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Qur’anul Karim, cerdas, berakal, jujur, tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor merasa puas terhadap isi buku yang dikoreksinya, dia harus memaraf buku tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan menerima isi buku tersebut.

No comments:

Post a Comment